Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan
dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
memerlukan penanganan yang uar biasa.
Selain itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh
berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti
peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna
menumbuh kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti
korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan
undang-undang tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut perlu pengaturan mengenai
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam suatu undang-undang tersendiri. Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Peradilan Umum dan pengadilan satusatunya yang memiliki kewenangan mengadili
perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota
kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan
sarana dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini,
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota
provinsi.
Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad
hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada
umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan
dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus
operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain
di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan
jasa pemerintah. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana
yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hukum
acara tersebut antara lain mengatur: a. penegasan pembagian tugas dan wewenang
antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; b. mengenai
komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada
tingkat pertama, banding maupun kasasi; c. jangka waktu penyelesaian
pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan; d.
alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang
diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan e. adanya kepaniteraan khusus untuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat
Undang-Undang berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini, antara lain
mengenai keberadaan Hakim ad hoc. Hakim ad hoc yang telah
diangkat berdasarkan undang-undang sebelum Undang-Undang ini berlaku, tidak
perlu diangkat kembali, tetapi langsung bertugas untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun bersamaan dengan masa jabatan Hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang ini.
No comments:
Post a Comment