Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan,
terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat
khususnya mengenai penerapan Undangundang tersebut terhadap tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal
ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak
berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul
suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di
Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar
biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan
dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan
keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana
korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan perluasan mengenai
sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa
mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat,
dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail),
telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik"
perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium
remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak
pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru
tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga
berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk
mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau
tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga
atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Selanjutnya dalam
Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara
dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan
rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang
dikorup relatif kecil. Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan
Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya
sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
No comments:
Post a Comment